Dekrit 23 Juli 2001 dan Celana Pendek, Yang Melengserkan Gus Dur dari Kursi Presiden

Bernard eL. Krova
3 min readJul 23, 2021

--

Hari ini tepat 20 tahun lalu, KH Abdurrahman Wahid dilengserkan secara politis oleh parlemen melalui Sidang Istimewa MPR RI. Sebelum pelaksanaan sidang, Gus Dur melawan dengan mengeluarkan dekrit. Ada tiga poin dalam dekrit tersebut. Pertama, membekukan DPR-MPR. Kedua, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan untuk penyelenggaraan pemilihan umum dalam waktu setahun. Ketiga, menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan cara membekukan Partai Golongan Karya sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.

Perlawanan tersebut karena Gus Dur menolak langkah parlemen yang menurutnya inkonstitusional. Sejumlah tuduhan yang diarahkan kepadanya seperti kasus kasus Buloggate dan Bruneigate tidak terbukti secara hukum.

Menjelang tengah malam pada tanggal 22 Juli 2001, Gus Dur sempat mengadakan pertemuan bersama Wakil Sekjen PBNU Masduki Baidlawi dan tujuh ulama sepuh di Istana Negara. Kalangan ulama menyampaikan kepada Gus Dur perihal kondisi politik mutakhir yang berujung pada rencana percepatan Sidang Istimewa MPR keesokan harinya, 23 Juli 2001. Kondisi pertemuan di Istana Negara kala itu dilaporkan berlangsung khidmat dan penuh keharuan. Gus Dur tak kuasa menahan air mata. Ia meminta maaf berkali-kali karena merasa tidak berterus terang kepada para ulama mengenai situasi politik yang dihadapinya. Dengan dorongan para ulama dan pengurus pondok pesantren, lewat tengah malam pada tanggal 23 Juli 2001, Gus Dur mengeluarkan dekrit presiden, demikian laporan Harian Kompas, 01 Agustus 2001.

Pemberlakuan dekrit ini langsung ditanggapi keras oleh lawan-lawan politik Gus Dur. Megawati Soekarnoputri yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden juga tidak sependapat dengan langkah cucu pendiri ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama itu.

Amien Rais sebagai pimpinan parlemen melakukan perlawanan dengan menggelar konferensi pers dan mengajak seluruh masyarakat memboikot isi dekrit tersebut. Sementara sidang istimewa MPR yang semula akan digelar pada 1 Agustus 2001 dipercepat menjadi hari itu juga atau Senin 23 Juli 2001 siang.

Sidang istimewa digelar tanpa keikutsertaan Fraksi PKB dan PDKB, hasilnya memakzulkan Gus Dur dari kursi presiden dan mengangkat Megawati sebagai Presiden ke-5 RI sekaligus memilih Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden melalui voting.

Wacana pemakzulan Gus Dur sebenarnya telah lama disuarakan oleh para tokoh politik yang berseberangan dengan Kiai NU tersebut. Desakan itu diserukan seiring dengan menyebarnya isu kasus dana Yayasan Dana Bina Sejahtera Karyawan Badan Urusan Logistik dan Bantuan Sultan Brunei. Namun tudingan itu tak pernah terbukti.

Alasan penggantian Kapolri dari Jenderal Bimantoro kepada Jenderal Chairudin Ismail secara sepihak juga menjadi salah satu alasan mempercepat pelaksanaan sidang istimewa MPR. Keputusan Gus Dur dinilai sebagai pelanggaran berat karena tidak melibatkan DPR/MPR dalam pengangkatan Kapolri.

“Kalau tawakal, Anda berani dan layak hidup”, demikian salah satu pesan yang disampaikan oleh Gus Dur beberapa waktu sebelum beliau dilengserkan. Kalimat tersebut seperti diuji dan benar-benar jitu menjadi pembuktian bagi Gus Dur setelah lengser. Alissa Wahid dalam kesaksiannya mengatakan, “Rupanya beberapa kiai, salah satunya Kiai Iskandar mengatakan, beberapa ribu santri sudah berdatangan. Di depan istana berdemo, saling berbalas-balasan, saling adu suara. Waktu itu, beliau mendapat laporan ribuan akan datang dan siap berjihad untuk pemimpin mereka, Gus Dur.”

Kabar tersebutlah memberikan keteguhan bagi Gus Dur untuk meletakkan jabatannya sebagai presiden. Alissa dalam beberapa kesempatan mengatakan “tak ada satu jabatan yang patut dipertahankan Gus Dur dengan mengorbankan masyarakatnya”.

Dalam buku ‘Sisi Lain Istana’ karya wartawan senior J. Osdar menyebutkan, kala itu Gus Dur keluar istana untuk menyapa massa pendukungnya. Memberikan arahan kepada massa pendukungnya untuk tidak berbuat anarkis terkait keputusan MPR memakzulkan dirinya.

Momen yang paling diingat saat itu adalah ketika Gus Dur keluar istana dengan hanya mengenakan celana pendek dan kaos kerah berwarna abu-abu sambil melambaikan tangannya. Saat itu, Gus Dur keluar ke teras istana dengan didampingi putrinya, Yenny Wahid dan beberapa orang dekatnya

Peristiwa itu terjadi pada Senin 23 Juli 2001 malam, di saat MPR tengah sibuk melantik Megawati sebagai Presiden RI menggantikan Gus Dur.

Terima kasih Gus …

eL. krova, BSD Luly 23, 2021

--

--

No responses yet